Berulang kali Daniel Kaghahing mengusap
matanya yang berkaca-kaca. Mantan pelaut di Papusungan, Lembeh Selatan--sebuah
pulau tepat di seberang Kota Bitung, Sulawesi Utara-- itu sedang meratapi garis
hidupnya yang nahas. Ditemui pada akhir Mei 2014 lalu, pria 39 tahun ini baru
sebulan keluar dari penjara.
Nasib buruknya bermula dua tahun lalu. Ketika itu Daniel memegang jabatan mentereng: kapten kapal. Bahteranya tidak sembarangan. Besarnya 319 gross tonnage dan bisa berlayar mencari ikan sampai jauh. Namanya Meriyana. Sekali melaut, Daniel bisa tak pulang sampai enam bulan.
Pada awal 2012, sebuah peristiwa mengubah garis tangan Daniel. Sepulang dari kegiatannya menangkap ikan di Laut Arafura, polisi mencarinya dengan tuduhan terlibat pemalsuan dokumen kapal. Sekembalinya ke Bitung, Meriyana memang berubah nama menjadi Yungin 05.
Daniel terkejut. Selama delapan tahun jadi nakhoda kapal, baru kali ini dia berurusan dengan penegak hukum. Rasa kagetnya bertambah ketika majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara. Tak hanya itu, semua dokumen izinnya sebagai pelaut juga disita pengadilan, termasuk sertifikat ahli nautika kapal penangkap ikan (atkapin) tingkat dua. “Sejak itu saya tidak bisa melaut lagi," katanya pilu.
Ironisnya, pelanggaran seperti yang dilakoni Daniel itu dilakukan juga oleh banyak pelaut lain di Bitung. Kapten kapal yang menakhodai bahtera dengan dokumen palsu bertebaran di sana. Di atas kapal siluman itu, mereka tak lebih dari kapten boneka.
Nasib buruknya bermula dua tahun lalu. Ketika itu Daniel memegang jabatan mentereng: kapten kapal. Bahteranya tidak sembarangan. Besarnya 319 gross tonnage dan bisa berlayar mencari ikan sampai jauh. Namanya Meriyana. Sekali melaut, Daniel bisa tak pulang sampai enam bulan.
Pada awal 2012, sebuah peristiwa mengubah garis tangan Daniel. Sepulang dari kegiatannya menangkap ikan di Laut Arafura, polisi mencarinya dengan tuduhan terlibat pemalsuan dokumen kapal. Sekembalinya ke Bitung, Meriyana memang berubah nama menjadi Yungin 05.
Daniel terkejut. Selama delapan tahun jadi nakhoda kapal, baru kali ini dia berurusan dengan penegak hukum. Rasa kagetnya bertambah ketika majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara. Tak hanya itu, semua dokumen izinnya sebagai pelaut juga disita pengadilan, termasuk sertifikat ahli nautika kapal penangkap ikan (atkapin) tingkat dua. “Sejak itu saya tidak bisa melaut lagi," katanya pilu.
Ironisnya, pelanggaran seperti yang dilakoni Daniel itu dilakukan juga oleh banyak pelaut lain di Bitung. Kapten kapal yang menakhodai bahtera dengan dokumen palsu bertebaran di sana. Di atas kapal siluman itu, mereka tak lebih dari kapten boneka.
TUDINGAN bahwa sebagian besar kapal
penangkap ikan di Indonesia diam-diam ternyata milik warga negara dan
perusahaan asing sebenarnya sudah lama terdengar.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kerap melakukan riset dan advokasi di bidang ini, secara khusus mengangkat isu ini dalam peringatan Hari Nelayan Nasional pada 6 April 2014 lalu. Mereka menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, menuding pemerintah membiarkan banyak kapal siluman mencuri ikan di perairan Nusantara.
Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengaku punya sederet bukti untuk mendukung tuduhan itu. “Selama ini ada kesan bahwa pelakunya justru dilindungi pemerintah," kata Halim, ketika ditemui pada Mei 2014.
Tak mengherankan kalau Halim geregetan. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan tanpa izin, tak dilaporkannya hasil tangkapan ikan, dan penangkapan ikan di area yang belum diatur pengelolaannya (illegal, unreported, and unregulated fishing), mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Pada 2001 saja, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan Indonesia kehilangan Rp 30 triliun per tahun dari sektor ini.
Sebuah lembaga riset lain, Fisheries Resources Laboratory, mengungkapkan angka yang lebih mencengangkan. Akibat pencurian ikan di Laut Arafura selama kurun waktu 2001-2013, negeri ini sudah merugi Rp 520 triliun. Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk membangun lebih dari seratus jembatan antarpulau sebesar Suramadu. “Modus illegal fishing yang paling banyak terjadi adalah pemalsuan izin," tulis hasil analisis itu.
Secara tersirat, pemerintah tak menolak kesahihan data lembaga ini. Pasalnya, dokumen penelitian ini justru ditemukan Tempo di situs resmi milik Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Bagaimana pemalsuan izin kapal siluman ini bisa terjadi? Halim menunjuk lemahnya pengawasan atas proses alih kepemilikan pada kapal yang semula berbendera asing. “Semua berawal dari sana," katanya.
Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat sedikitnya 550 ribu kapal yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Dari jumlah itu, 1.200 adalah eks bahtera berbendera asing.
Kapal-kapal asing itu berubah kepemilikan seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009, yang melarang sepenuhnya
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang kerap melakukan riset dan advokasi di bidang ini, secara khusus mengangkat isu ini dalam peringatan Hari Nelayan Nasional pada 6 April 2014 lalu. Mereka menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, menuding pemerintah membiarkan banyak kapal siluman mencuri ikan di perairan Nusantara.
Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengaku punya sederet bukti untuk mendukung tuduhan itu. “Selama ini ada kesan bahwa pelakunya justru dilindungi pemerintah," kata Halim, ketika ditemui pada Mei 2014.
Tak mengherankan kalau Halim geregetan. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan tanpa izin, tak dilaporkannya hasil tangkapan ikan, dan penangkapan ikan di area yang belum diatur pengelolaannya (illegal, unreported, and unregulated fishing), mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Pada 2001 saja, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan Indonesia kehilangan Rp 30 triliun per tahun dari sektor ini.
Sebuah lembaga riset lain, Fisheries Resources Laboratory, mengungkapkan angka yang lebih mencengangkan. Akibat pencurian ikan di Laut Arafura selama kurun waktu 2001-2013, negeri ini sudah merugi Rp 520 triliun. Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk membangun lebih dari seratus jembatan antarpulau sebesar Suramadu. “Modus illegal fishing yang paling banyak terjadi adalah pemalsuan izin," tulis hasil analisis itu.
Secara tersirat, pemerintah tak menolak kesahihan data lembaga ini. Pasalnya, dokumen penelitian ini justru ditemukan Tempo di situs resmi milik Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Bagaimana pemalsuan izin kapal siluman ini bisa terjadi? Halim menunjuk lemahnya pengawasan atas proses alih kepemilikan pada kapal yang semula berbendera asing. “Semua berawal dari sana," katanya.
Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat sedikitnya 550 ribu kapal yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Dari jumlah itu, 1.200 adalah eks bahtera berbendera asing.
Kapal-kapal asing itu berubah kepemilikan seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009, yang melarang sepenuhnya
Kapal asing
menangkap ikan di laut Nusantara. Kini
kapal-kapal raksasa itu tercatat sebagai milik orang atau perusahaan Indonesia.
Masalahnya, banyak yang yakin ada permainan di bawah meja. Para pemilik lama kapal asing itu sebenarnya masih menguasai asetnya dengan menyiasati perizinan.
Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, termasuk yang mempercayai hal itu. “Namanya kapal pinjam bendera (flag of convenience). Kapal semacam itu semi-legal: secara de jure resmi milik pengusaha Indonesia, tapi de facto milik asing," katanya ketika ditemui pada pertengahan Mei 2014.
Mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan Aji Soelarso sependapat. Dihubungi terpisah, dia mengungkapkan bahwa peralihan kepemilikan kapal asing ke pengusaha Indonesia itu menggunakan modus transaksi palsu. “Akibatnya, sekarang banyak kapal abal-abal," katanya pada awal Juni 2014 lalu.
Kedua mantan pejabat ini menegaskan bahwa praktek kapal siluman merupakan modus terbaru penangkapan ikan ilegal. "Dengan bendera Indonesia, kapal-kapal asing ini leluasa menangkap ikan di luar wilayah yang menjadi haknya," kata Rokhmin dengan nada geram.
Masalahnya, banyak yang yakin ada permainan di bawah meja. Para pemilik lama kapal asing itu sebenarnya masih menguasai asetnya dengan menyiasati perizinan.
Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, termasuk yang mempercayai hal itu. “Namanya kapal pinjam bendera (flag of convenience). Kapal semacam itu semi-legal: secara de jure resmi milik pengusaha Indonesia, tapi de facto milik asing," katanya ketika ditemui pada pertengahan Mei 2014.
Mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan Aji Soelarso sependapat. Dihubungi terpisah, dia mengungkapkan bahwa peralihan kepemilikan kapal asing ke pengusaha Indonesia itu menggunakan modus transaksi palsu. “Akibatnya, sekarang banyak kapal abal-abal," katanya pada awal Juni 2014 lalu.
Kedua mantan pejabat ini menegaskan bahwa praktek kapal siluman merupakan modus terbaru penangkapan ikan ilegal. "Dengan bendera Indonesia, kapal-kapal asing ini leluasa menangkap ikan di luar wilayah yang menjadi haknya," kata Rokhmin dengan nada geram.
Mari kembali pada kisah Daniel
Kaghahing. Pada medio 2011, Meriyana--kapal yang dinakhodai Daniel--berangkat
dari Pelabuhan Bitung. Mereka berencana melaut selama enam bulan di Laut
Arafura.
Baru dua bulan beroperasi di perairan kaya ikan itu, sebuah panggilan masuk ke telepon satelit yang terpasang di Meriyana. Seorang pegawai PT Karya Bitung Sejati--perusahaan pemilik Meriyana--meminta Daniel segera merapat ke Pelabuhan Pomako, Timika, Papua. “Saya diminta mengambil dokumen surat izin penangkapan ikan yang sudah diperpanjang," katanya kepada Tempo, akhir Mei 2014 lalu.
Sampai di Timika beberapa hari kemudian, Daniel sempat kebingungan karena tak ada orang Karya Bitung Sejati di sana. Dia malah ditemui seseorang bernama Warsono, yang mengaku sebagai bos PT Yungin Prima Sentosa.
“Dia memerintahkan lambung kapal saya dicat ulang dan diberi nama baru: Yungin 05," kata Daniel mengenang. Pada dokumen surat izin penangkapan ikan pun, nama kapal Daniel sudah berubah. Tak ada lagi Meriyana.
Daniel mengikuti perintah Warsono, karena dia tahu persis Karya Bitung Sejati bukanlah pemilik asli Meriyana. Apalagi Warsono memberi jaminan bahwa manajemen Karya Bitung sudah menyetujui perubahan itu. “Pemilik Meriyana itu orang Taiwan. Namanya Agi," kata Daniel. Dia menduga Warsono adalah orang suruhan Agi.
Setelah pengecatan ulang rampung, Meriyana alias Yungin 05 melaut lagi. Meski sempat waswas karena berlayar dengan dokumen palsu, Daniel memutuskan jalan terus. “Soalnya, pengelola Pelabuhan Pomako menerbitkan surat persetujuan berlayar untuk Yungin 05. Kalau ada masalah, seharusnya surat itu tidak keluar," katanya yakin.
Baru dua bulan beroperasi di perairan kaya ikan itu, sebuah panggilan masuk ke telepon satelit yang terpasang di Meriyana. Seorang pegawai PT Karya Bitung Sejati--perusahaan pemilik Meriyana--meminta Daniel segera merapat ke Pelabuhan Pomako, Timika, Papua. “Saya diminta mengambil dokumen surat izin penangkapan ikan yang sudah diperpanjang," katanya kepada Tempo, akhir Mei 2014 lalu.
Sampai di Timika beberapa hari kemudian, Daniel sempat kebingungan karena tak ada orang Karya Bitung Sejati di sana. Dia malah ditemui seseorang bernama Warsono, yang mengaku sebagai bos PT Yungin Prima Sentosa.
“Dia memerintahkan lambung kapal saya dicat ulang dan diberi nama baru: Yungin 05," kata Daniel mengenang. Pada dokumen surat izin penangkapan ikan pun, nama kapal Daniel sudah berubah. Tak ada lagi Meriyana.
Daniel mengikuti perintah Warsono, karena dia tahu persis Karya Bitung Sejati bukanlah pemilik asli Meriyana. Apalagi Warsono memberi jaminan bahwa manajemen Karya Bitung sudah menyetujui perubahan itu. “Pemilik Meriyana itu orang Taiwan. Namanya Agi," kata Daniel. Dia menduga Warsono adalah orang suruhan Agi.
Setelah pengecatan ulang rampung, Meriyana alias Yungin 05 melaut lagi. Meski sempat waswas karena berlayar dengan dokumen palsu, Daniel memutuskan jalan terus. “Soalnya, pengelola Pelabuhan Pomako menerbitkan surat persetujuan berlayar untuk Yungin 05. Kalau ada masalah, seharusnya surat itu tidak keluar," katanya yakin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar